Kisah Pengamen Bis Kota

Dalam perjalanan pulang dari daerah Gatot Subroto, Naiklah seorang bapak muda menggendong seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 4-5 tahun. Dari penampilan mereka dan botol air mineral yang berisi beras yang dibawanya, terlihat mereka akan mengamen dalam bis kota yang saya tumpangi. Tak berapa lama-setelah menemukan posisi yang nyaman bagi mereka, mereka mulai menyanyi. Sang anak mengikuti sang ayah bernyanyi. Pemandangan seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang langka. Seringkali seorang wanita atau kakak membawa seorang anak kecil dan kemudian mereka mengamen di angkutan umum atau bis kota, untuk mencari sesuap nasi. Yang tidak biasa dari pengamen ayah-anak ini adalah nyanyian yang dibawakannya. Mereka menyanyi lagu puji-pujian untuk Yesus dan Bapa. Entah apa motif di balik kedua pengamen ini, apakah memang untuk mencari sesuap nasi ataukah mereka ingin menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Yah, seperti pengamen lain yang menyanyikan lagu tombo ati atau hadad alwi. Tapi yang membuat saya terketuk bukanlah nyanyian yang mereka bawakan, melainkan sebuah nyanyian yang keluar dari lisan seorang anak kecil dengan kepolosannya. Sungguh polosnya hingga ia belum mengerti hakikat ketuhanan dalam nyanyian yang ia bawakan. “Setiap anak lahir ke dunia dalam fitrah islam. Orang tuanya lah yang menjadikan seorang anak yahudi, nasrani, dan majusi.”
Setelah sampai di UKI, saya turun dari bis berganti dengan mikrolet yang menuju Jatinegara. Dari Jatinegara bisa menggunakan metro mini 506 atau 50 untuk sampai di dekat rumah. Dalam metro mini yang saya tumpangi, ada pemandangan yang baru pertama kali saya lihat. Seorang wanita paruh baya sedang menyanyikan sebuah lagu. Lagi-lagi seorang pengamen. Kali ini yang membuat hati saya terketuk bukanlah pada nyanyian yang dibawakannya ataupun anak kecil yang dibawanya, melainkan pakaian yang dikenakannya. Wanita tersebut memakai Jilbab. Yak..baru pertama kali ini saya melihat perempuan berjilbab mengamen di metro mini. Entahlah segala macam prasangka berkecamuk dalam benak ini. Miris sekali melihat seorang saudara seiman harus mengamen di metro mini untuk mencari sesuap nasi (jika memang demikian). Muncul juga dalam benak ini, dugaan bahwa ia sengaja memakai jilbab untuk menarik simpati dari para penumpang. Tapi rasanya tidak mungkin. Dari tatapan kosongnya, seolah terlihat ia melakukan hal tersebut karena terpaksa. Benarkah demikian ya Allah? Jika memang iya, maka astaghfirullah..kemana sajakah saya hingga masih ada saudara seiman yang membutuhkan bantuan. Bisa jadi ia mengamen bukan untuk makan, tapi bisa jadi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Anak-anaknya menunggu di rumah berharap sang ibu pulang membawa oleh-oleh hasil jerih payahnya mengamen di metro mini. Entahlah..pikiran ini mengembara kemana-mana. Tapi diri ini seolah tak berdaya karena keburu turun dari metro mini. Saya tidak dapat memberinya sedikit bantuan ataupun berbincang-bincang dengannya.
Fenomena apakah ini? Apakah kesenjangan itu semakin tinggi? Penduduk kota besar yang semakin tidak peduli? Sulitnya mencari pekerjaan lain hingga akhirnya memilih untuk mengamen saja? ataukah komersialisasi agama untuk menambil simpati orang lain? Waallahua’lam bishshowab..


1 komentar:

  1. Anonymous

    Nyari kerjaan susah mbak. Lulus S1 aja blom tentu dapet kerjaan yg sesuai jurusan. Apalagi yg ga skolah.

    Saya sering berangan-angan, Negara cukup kaya buat bagi2in modal en membina warganya yg blum punya pekerjaan supaya bisa menghasilkan uang dan bisa hidup dg layak...

     

Post a Comment