Kisah Ibnu Abbas..

Suatu ketika saya diskusi dengan kakak ipar saya tentang memilih pasangan hidup. Beberapa teman seangkatan sudah ada yang menikah. Pastinya karena mereka sudah siap kali ya..Minimal siap mental. Selain itu, bekal ilmu yang cukup serta beberapa skill berumah tangga juga ga kalah pentingnya untuk disiapin.

Sebelum memutuskan dengan siapa kita menikah, pastinya ada proses ta’aruf dulu dong. Proses ini biasanya gak memerlukan waktu lama kok, kalo kata kakak sih..biasanya maksimal 3 bulan. Disitu deh saatnya mengenal visi dan misi serta sedikit karakter calon pasangan. Mmm..kata kakak ipar, ternyata gak sembarangan lho mutusin sama siapa kita bakalan ta’aruf. Soalnya di proses ta’aruf bakalan ada proses perkenalan yang lebih dalam lagi. So, mungkin ada aib calon pasangan yang bakalan kita tahu saat proses tersebut. Berarti pada saat mau mulai ta’aruf, kudu istikhoroh juga kali ya.. Nah, setelah proses berjalan cukup lama, dan sudah saatnya bagi si cewek untuk memutuskan, hal yang lumayan sulit juga lho saat harus memutuskan apakah ‘si dia’ yang dipilih atau bukan.. Dan akhirnya kalo udah mendekati hari-H, biasanya frekuensi konsultasi ke Allah SWT lewat istikhoroh-nya lebih sering niy. Satu hal penting yang harus menjadi bahan pertimbangan, tentunya kesholehan dari calon pasangan. Nah, sebenarnya ketika berbicara tentang kesholehan seseorang, tidak ada parameter baku yang bisa dijadikan tolak ukurnya. Saat melihat kesolehan tersebut, kita juga kudu introspeksi diri, sejauh mana sih kesolehan kita. Jadi, jangan berharap mendapatkan seperti Ali kalau kita belum menjadi seperti seorang Fatimah.

Tentang kesolehan ini, ada sepenggal kisah yang saya peroleh dari kakak ipar saya, yaitu kisah tentang Muhammad Ibnu Abbas (ayahnya Imam Syafi’i). Kisah ini mungkin sudah cukup familiar. Kurang lebih kisahnya seperti ini :

Suatu ketika Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di pinggir sungai, kemudian dia melihat ada sebuah apel melintas di hadapannya. Karena pada saat itu dia sedang kelaparan, maka langsung aja dia menyambar apel itu dan segera memakannya. Namun setelah beberapa gigitan apel, dia baru sadar bahwa apel itu bukan miliknya. Kemungkinan besar apel tersebut jatuh dari pohon apel yang ada di pinggir sungai tersebut. Karena dia ragu-ragu akan kehalalan dari apel tersebut, akhirnya dia mencari pemilik pohon apel agar diikhlaskan apel yang sudah ada di dalam perutnya. Kemudian dia coba susuri sungai tersebut, dan akhirnya dia sampai pada pemilik pohon apel itu. Setelah bertemu dengan sang pemilik pohon apel, tanpa basa-basi dia langsung bercerita bagaimana sampai dia dapet apel tersebut dan meminta pemilik pohon untuk mengikhlaskan apel yang telah dia makan. Bapak pemilik pohon apel itu takjub dengan sifat kehati-hatian pemuda tersebut. Sang bapak ingin mengenal karakter dan akhlak sang pemuda lebih jauh lagi. Akhirnya sebagai salah satu syarat agar apel tersebut bisa diikhlaskan, dia harus mau bekerja selama 3 hari di kebun apel miliknya. Tentu saja sang pemuda mau memenuhi syarat tersebut. Selama berinteraksi 3 hari dengan pemuda, sang bapak melihat kepribadian dan akhlak yang mulia dari sang pemuda. Sehingga muncul niatan dari hati sang bapak untuk menikahkan pemuda tersebut dengan anak perempuannya. Setelah syarat tersebut dipenuhi, sang bapak mengajukan syarat kembali. Ok, kalau kamu mau supaya saya mengikhlaskan apel tersebut, kamu harus mau menikah dengan anak saya. Tanpa pikir panjang, sang pemuda mengiyakan permintaan sang bapak tanpa mencari tahu informasi tentang perempuan tersebut. Di akhir obrolan, sang bapak baru bilang bahwa anak perempuannya bisu, tuli, buta, serta cacat kaki dan tangannya. Informasi tentang anak perempuan bapak tersebut membuat hati sang pemuda bimbang. Sesampainya di rumah dia gelisah dan tidak tenang, dia terus memikirkan calon mempelai wanita yang dia pikir fisiknya kurang sempurna tersebut. Namun di tengah kegalauannya tersebut, dia teringat suatu hadist yang kurang lebih berbunyi : “Lelaki sholeh hanya untuk wanita sholeh, begitu pula sebaliknya”. Dengan keyakinan yang besar akan janji Allah swt, akhirnya hilang rasa gelisah yang meliputi dirinya, dan dia dengan lapang dada menerima ketentuan dari-Nya. Akhirnya tiba hari yang dinanti-nanti, sang pemuda harus menikah dengan anak perempuan pemilik kebun apel. Setelah ijab qabul selesai, sang mempelai wanita keluar untuk menemui sang pemuda yang kini menjadi suaminya didampingi oleh sang ayah. Sambil menyerahkan anak perempuannya ke sang pemuda, sang bapak baru berkata yang sejujurnya bahwa anaknya tidak buta, tuli, bisu, serta cacat tangan dan kakinya dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya kiasan saja. Sang anak buta, tuli dan bisu dari melihat, mendengar, berkata maksiat. Sedangkan kedua tangan dan kakinya cacat dari berbuat maksiat. Ibnu Abbas justru mendapatkan anugrah yang luar biasa, disamping terjaga dari perbuatan dosa, sang wanita juga dikaruniai oleh Allah SWT wajah yang cantik dan rupawan. Subhanallah..

“Allah tidak pernah menyia-nyiakan kesungguhan hamba-Nya dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Sungguh karunia Allah amat besar kepada hamba-hamba-Nya yang beriman”.

Foto2 keponakan..




Nyobain masukin foto ke blogger niy.. ;)

Being Positive! Jadi lebih produktif..

Setiap hari manusia tidak pernah lepas dari masalah, dan masalah itu bisa membuat manusia makin lebih baik dari hari ke hari atau bahkan sebaliknya. Berfikir positif merupakan pilihan. Saat manusia dihadapkan pada suatu hal yang membuat dirinya cemas, khawatir, atau berada dalam ketidakpastian, ada dua pilihan yang biasanya diambil. Maju terus pantang mundur dan berfikir positif atau pesimis dan akhirnya mundur. Dengan berfikir positif, duri-duri kecil dianggap sebagai bumbu penyedap indahnya-yang namanya kehidupan, dan rintangan dirubah menjadi tantangan sehingga hidup menjadi lebih bervariasi. Kalau sudah begitu, hari-hari ke depan yang akan dijalani menjadikan karakter diri semakin kuat dan kokoh.

Berpikir positif ternyata tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tapi juga ke orang-orang sekitar yang berada pada lingkaran pengaruhnya. Hubungan antar individu lebih harmonis, karena konflik yang dihadapi diantara mereka diselesaikan dengan berfikir positif. Ada nilai kebijaksanaan di dalamnya. Selain itu dengan individu senantiasa berusaha untuk berfikir positif, pikirannya akan terlepas dari belenggu-belenggu yang bisa menghambat kreativitas dan potensi dirinya. Sedikit mengikuti iklan salah satu teh botol, “Apapun masalahnya, solusinya adalah senantiasa berfikir positif”.

Berfikir positif terkait dengan nilai-nilai religi yang diyakininya. Karenanya dengan berfikir positif, secara tidak langsung kita sudah meng-eliminir keinginan untuk dihargai, diperhatikan, dan dipuji orang lain. Tapi sebaliknya, kita berusaha untuk ‘memberi’ bukan ‘mengharap’. Dengan tidak ‘mengharap’, biasanya kita justru diberi. Cukuplah hanya mengharap pada suatu zat yang Maha Memberi. Insya Allah, kita tidak akan pernah kecewa apalagi putus asa.