Sebuah nilai yang diperjuangkan..

Sebuah nilai yang diyakini dan diamalkan secara konsisten maka akan berubah menjadi sebuah karakter. Jika sudah menjadi karakter maka perlu energi yang lebih untuk merubahnya.
Karakter baik dan kuat menyatu dalam diri pribadi adalah hal yang saya pelajari selama mengikuti pelatihan di salah satu pesantren virtual di Bandung. Sehingga mungkin itu sedikit banyak mempengaruhi karakter dan kepribadian. 'Kok bu titi berani banget ya..'. Bagi saya bukan masalah berani atau bukan, melainkan ada sebuah nilai yang bagi saya penting untuk diperjuangkan. Saya hanya berusaha untuk mensinergikan nilai kebaikan tersebut dengan lingkungan sekitar. Jika pada akhirnya amat sulit untuk bersinergi, maka apa boleh buat, biasanya sikap pragmatis yang saya pilih.
Setiap orang memiliki keyakinan yang berbeda-beda akan suatu nilai. Nilai kemandirian misalnya. Bagi beberapa orang mungkin itu adalah nilai yang baik tapi belum tentu menjadi sesuatu yang integral dalam dirinya. Begitu juga nilai kejujuran, kedisiplinan, dsb.

"Ya Allah, tunjukkanlah aku kepada kebenaran dalam menghadapi perkara yang diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau menunjuki jalan yang lurus kepada siapa saja yang engkau kehendaki."

Keep Smile Ti!!

Take a breath and Smile..

Saat persoalan hidup terasa menyesakkan dada..senyuman membuat secercah sinar terang di hati-menerangi jiwa yang gelap..
Dzikir sambil menghayati makna yang di dalamnya mengobati hati yang gundah gulana..
Menarik nafas dalam dan berusaah merubah paradigma negatif menjadi posiitif meneguhkan kembali jiwa yang lemah..
Hari esok harus lebih baik dari hari ini!

Kisah Pengamen Bis Kota

Dalam perjalanan pulang dari daerah Gatot Subroto, Naiklah seorang bapak muda menggendong seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 4-5 tahun. Dari penampilan mereka dan botol air mineral yang berisi beras yang dibawanya, terlihat mereka akan mengamen dalam bis kota yang saya tumpangi. Tak berapa lama-setelah menemukan posisi yang nyaman bagi mereka, mereka mulai menyanyi. Sang anak mengikuti sang ayah bernyanyi. Pemandangan seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang langka. Seringkali seorang wanita atau kakak membawa seorang anak kecil dan kemudian mereka mengamen di angkutan umum atau bis kota, untuk mencari sesuap nasi. Yang tidak biasa dari pengamen ayah-anak ini adalah nyanyian yang dibawakannya. Mereka menyanyi lagu puji-pujian untuk Yesus dan Bapa. Entah apa motif di balik kedua pengamen ini, apakah memang untuk mencari sesuap nasi ataukah mereka ingin menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Yah, seperti pengamen lain yang menyanyikan lagu tombo ati atau hadad alwi. Tapi yang membuat saya terketuk bukanlah nyanyian yang mereka bawakan, melainkan sebuah nyanyian yang keluar dari lisan seorang anak kecil dengan kepolosannya. Sungguh polosnya hingga ia belum mengerti hakikat ketuhanan dalam nyanyian yang ia bawakan. “Setiap anak lahir ke dunia dalam fitrah islam. Orang tuanya lah yang menjadikan seorang anak yahudi, nasrani, dan majusi.”
Setelah sampai di UKI, saya turun dari bis berganti dengan mikrolet yang menuju Jatinegara. Dari Jatinegara bisa menggunakan metro mini 506 atau 50 untuk sampai di dekat rumah. Dalam metro mini yang saya tumpangi, ada pemandangan yang baru pertama kali saya lihat. Seorang wanita paruh baya sedang menyanyikan sebuah lagu. Lagi-lagi seorang pengamen. Kali ini yang membuat hati saya terketuk bukanlah pada nyanyian yang dibawakannya ataupun anak kecil yang dibawanya, melainkan pakaian yang dikenakannya. Wanita tersebut memakai Jilbab. Yak..baru pertama kali ini saya melihat perempuan berjilbab mengamen di metro mini. Entahlah segala macam prasangka berkecamuk dalam benak ini. Miris sekali melihat seorang saudara seiman harus mengamen di metro mini untuk mencari sesuap nasi (jika memang demikian). Muncul juga dalam benak ini, dugaan bahwa ia sengaja memakai jilbab untuk menarik simpati dari para penumpang. Tapi rasanya tidak mungkin. Dari tatapan kosongnya, seolah terlihat ia melakukan hal tersebut karena terpaksa. Benarkah demikian ya Allah? Jika memang iya, maka astaghfirullah..kemana sajakah saya hingga masih ada saudara seiman yang membutuhkan bantuan. Bisa jadi ia mengamen bukan untuk makan, tapi bisa jadi untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Anak-anaknya menunggu di rumah berharap sang ibu pulang membawa oleh-oleh hasil jerih payahnya mengamen di metro mini. Entahlah..pikiran ini mengembara kemana-mana. Tapi diri ini seolah tak berdaya karena keburu turun dari metro mini. Saya tidak dapat memberinya sedikit bantuan ataupun berbincang-bincang dengannya.
Fenomena apakah ini? Apakah kesenjangan itu semakin tinggi? Penduduk kota besar yang semakin tidak peduli? Sulitnya mencari pekerjaan lain hingga akhirnya memilih untuk mengamen saja? ataukah komersialisasi agama untuk menambil simpati orang lain? Waallahua’lam bishshowab..

Kenapa Sih? Pertanyaan yang membuat ia semakin cerdas..


Saya punya seorang keponakan dari kakak sepupu, eca namanya. Pada saat ke bandung, saya silaturahmi ke rumahnya dan berinteraksi dengannya selama 3 hari. Usianya baru 4 tahun, tapi kecerdasannya sudah terlihat. Di usia tersebut, dia sudah bisa menghitung benda, mengenal angka, menulis angka 1-10, mengenal warna, mewarnai dengan amat rapi (tidak ada yang keluar dari garis), dan menulis beberapa huruf.
Pertanyaan yang keluar dari mulutnya seringkali dimulai dengan frase ‘kenapa sih…?’. Tante titi, kenapa sih tangan eca lebih pendek dari tangan tante titi? Kenapa kalau hujan kita lari? Kenapa hiu makan ikan-ikan kecil? Kenapa bijinya gak boleh dimakan, padahal kan enak (saat itu kita lagi makan jeruk)?, dsb. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat nalar kita berfikir dan berusaha menjawabnya dengan ilmiah tapi sederhana. Setelah dijelaskan, kemudian ditanya kembali padanya, kadang ia bisa menjawab, kadang ia hanya bisa tersenyum. Kalau dia tersenyum berarti penjelasan kita masih kepanjangan dan terlalu sulit untuk dimengerti olehnya. Jadi harus lebih disederhanakan lagi.
Setelah saya berinteraksi beberapa hari dengannya, ternyata ada hal yang kurang dieksplor dalam dirinya, yaitu kemampuannya mengenal islam. Pada saat saya mengajaknya untuk membaca doa sebelum makan, reaksi yang saya terima darinya adalah dia mengucapkan satu kata yaitu ‘malu..’. Bisa jadi ia sudah bisa mengucapkan basmallah, hanya saja malu untuk mengucapkannya. Mengapa bisa malu ya? Bisa jadi bacaan tersebut kurang dibiasakan untuk dibaca. Jika di dalam lingkungan yang terkecil (keluarga) saja sudah merasa malu, maka bagaimana dengan lingkungan yang lebih luas. Saya khawatir jika kebiasaan baik tersebut akan semakin ditinggalkannya. Mudah-mudahan saja tidak.
Kalau eca sudah hafal angka, dan huruf-huruf kapital, tidak demikian dengan huruf hijaiah. Saya ber-positive thinking, semoga setelah huruf kapital berhasil diingatnya, ia akan diaajarkan huruf hijaiyah oleh orang tuanya. Sehingga dia semakin cerdas, cerdas intelektual, emosional, dan spiritual.
Selamat belajar adik kecilku!

Mengendalikan emosi..

Suatu saat seorang perempuan tengah berdiskusi dengan saudara laki-lakinya. Sang perempuan mengajak saudara laki-lakinya itu untuk bersama-sama dengan saudara-saudaranya yang lain mengumpulkan uang untuk meringankan beban hidup kedua orang tuanya. Pada saat itu, sang laki-laki agak keberatan, bukan karena ia tidak ingin meringankan beban kedua orangtuanya, tetapi karena memang penghasilannya saat itu belum mencukupi untuk sampai menyisihkan sedikit hartanya untuk orang lain. Wong untuk hidup sendiri saja sulit, pikir laki-laki tersebut. Dari cara sang perempuan itu berbicara dengan laki-laki tersebut, terlihat bahwa ia berusaha untuk membuka hati dan pikiran saudara laki-lakinya tersebut dengan sabar. Kata-kata yang keluar diusahakan untuk tidak menyakiti hati lawan bicaranya, nadanya sopan, dan seolah menghindari perdebatan. Tidak biasanya sang perempuan tersebut bisa mengendalikan emosinya saat berbicara dengan saudara laki-lakinya. Tapi dengan cara itu, walaupun ada sanggahan, saudara laki-lakinya tidak emosional dan tampaknya berusaha untuk mengendalikan emosinya pula. Kebaikan dibalas dengan kebaikan. Walaupun di akhir diskusi tidak terdengar kata sepakat dari mulut laki-laki itu, namun terlihat ia mulai memikirkan usulan dari saudara perempuannya itu. Bisa jadi hatinya mulai terbuka.
Cerita di atas mengingatkan saya kembali akan hadist Rasulullah SAW yang menyarankan kepada sahabatnya untuk tidak marah. “Jangan marah, jangan marah, dan jangan marah”, sabda beliau. Dua kata tersebut diulang sampai tiga kali. Marah atau emosi tidak akan menghasilkan solusi, karena kata-kata yang keluar menjadi tidak terkontrol dan jauh dari maksud semula. Bisa jadi sudah bukan saatnya lagi membuka pikiran dan hati orang lain dengan cara emosional. Dengan cara emosional kita berarti melibatkan ego kita. Lawan ego adalah ego kembali. Ketika ego terlibat, cara pandangnya bisa jadi tidak objektif lagi dalam melihat suatu persoalan.