Si Bonek..

Bocah Nekad, alias Bonek, ternyata tidak hanya berasal dari Surabaya saja, tapi ada juga dari Cipinang Muara. Dzaki Fadil Jahada namanya, keponakan kedua saya yang berumur 1 tahun 5 bulan.

Hari ini dia melakukan kegiatan yang nekad lagi, sampai-sampai hampir membahayakan jiwanya. Setelah sebelumnya dia naik tangga ke lantai 2 sendiri tanpa pendamping (kurang lebih 10 anak tangga). Hari ini dia mencoba untuk mengambil gayung (tutup termos) di dalam ember yang berukuran ¾ dari tinggi badannya. Dan yang ada adalah bukannya dia berhasil ngambil tutup termos itu, tapi malahan dianya masuk ked lam ember yang berisi 1/2 tinggi ember, dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah alias kelelep/tenggelam. Memang waktu itu di luar pengawasan orang dewasa (sedang lengah), sehingga hampir aja gak ketahuan. Tapi, alhamdulillah keburu ketahuan uminya. Ya..kontan aja dong si bonek itu nangis sekejer-kejernya, dan orang-orang sekitarnya pada kaget deh. Emang lucu juga sih.., bonek tapi cengeng. Namanya juga anak kecil. Memang usia balita adalah usia yang sedang lucu-lucunya, tapi usia yang bikin orang dewasa pada kesel juga dengan kenakalannya.

Emang keponakan saya yang satu ini ga ada duanya deh, dalam hal kenekadan tentunya. Kalo kakaknya mah, sekali diperingatin, langsung takut (ada yang ditakutin). Ai yang satu ini mah, kebal bo! Emang sih ada sisi positifnya ketika dia tidak takut apapun selain-Nya, tapi jadi bikin kita deg-degan dan khawatir. Lengah dari pengawasan dikit aja, udah deh bisa bahaya, terkadang membahayakan dirinya sendiri.

Besar harapan kami, mudah-mudahan dia menjadi anak yang pemberani tapi soleh. Walaupun dia sekarang nakal, jail, dan ga bisa diam, but someday we hope that he will changed.

Ketika harus memilih..

Berusaha mewujudkan cita-cita yang hanya untuk memenuhi ambisi pribadi ataukah menjadi manusia dengan cita-cita baru sehingga selaras dengan kepentingan orang lain.

Mengapa cita-cita harus diselaraskan dengan orang lain? Karena kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dan ketika hidup dengan orang lain, kita memiliki peran tertentu terhadap orang tersebut.

Ada dorongan/motivasi dan ada pertimbangan yang menyebabkan arah jalan hidup (cita-cita) harus berubah. Namun tidak perlu gusar dengan perubahan arah angin tersebut. Selama cita-cita berlandaskan pada niat yang tulus untuk kebaikan diri dan orang lain, maka selalu ada jalan.

Yang penting adalah jangan sampai kehilangan cita-cita, karena itu sama artinya dengan kehilangan tujuan hidup. Apalah artinya hidup jika kita tidak tahu arah tujuannya. Ombak dan badai yang deras akan mudah menghantam kapal jika sang nahkoda tidak segera mengambil keputusan apakah dia tetap pada posisinya dan menerjang badai ataukah mundur dan mencari jalan lain yang lebih cerah. Toh tujuan akhirnya sama, kenapa harus memilih jalan yang lebih sulit.

Memilih jalan lain tidak berarti menyerah dan enggan untuk bersusah payah. Perlu diingat, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Namun untuk waktu dan kondisi tertentu mungkin itu adalah keputusan yang terbaik. Mengambil keputusan secara rasional dan sesuai dengan kata nurani, kemudian menyerahkan hasilnya kepada sang khalik tampaknya adalah pilihan yang cukup bijaksana.

Saat ini saya memilih untuk menjadi seorang tenaga pengajar matematika. Dari sana saya menjadi punya keinginan untuk menjadi dosen dan kuliah lagi. Entah kemana cita-cita di bidang matematika keuangan melayang pergi. Saya fikir,begitu banyak jebakan di sana,jadi saya memutuskan untuk meninggalkannya. Akhirnya untuk saat ini saya memilih untuk menekuni bidang ini dengan sebaik-baiknya. Ternyata menjadi pengajar menyenangkan dan menghasilkan lho.. ;p

Tentukan pilihan dari sekarang!

(sambungan dari ‘3 hari yang mendebarkan’..)

Alhamdulillah masih diselamatkan

Pada tanggal 3-5 Februari, Jakarta dihantui ancaman air kiriman yang berasal dari Bogor. Setelah air dikirim dari Bogor, diperkirakan volume air di Jakarta akan bertambah tinggi 1-2 meter. Kami sekeluarga di rumah juga kena dampaknya. Kalau banjir sampai menyebabkan listrik padam,itu berarti banjirnya parah. Air di depan rumah semakin bertambah diikuti dengan padamnya aliran listrik. Oleh karenanya, kami tidak bisa mengikuti perkembangan banjir Jakarta melalui TV atau Radio.

Tapi, sanak saudara banyak yang menelfon ke rumah menanyakan kondisi kami dan memberikan informasi seputar jam kemungkinan air kiriman datang. Malahan ada yang meminta kami untuk mengungsi ke Bogor,soalnya di rumah ada 3 anak balita. Tapi kami berfikir,belum saatnya kami mengungsi ke tempat lain,soalnya air belum masuk rumah.

Bersyukur kepada-Nya,dalam suasana cemas dengan gosip air bah plus hujan pada dini hari yang cukup deras,air masih dalam ambang normal.

Di daerah lain..

Tepatnya di daerah Kampong Pulo dan Tanjung Lengkong (samping sungai ciliwung),tempat kedua teman saya bermukim,pada awal mula ciliwung meluap, daerah tersebut sudah kebanjiran sebatas pinggang. Kemudian air sempet surut,tapi sehari kemudian air bertambah lagi..lagi..dan semakin tinggi sampai menutupi lantai 1 rumah mereka. Mereka sempat menyelamatkan barang-barang berharga ke lantai 2,namun ternyata air terus bertambah sampai setinggi kurang lebih 1 meter di lantai 2 rumah mereka. Kedua teman saya sudah mengungsi ke tempat lain. Anak-anaknya dititipkan ke rumah saudara ataupun ke teman. Dan ada yang mengungsi ke rumah orang tua yang alhamdulillah tidak kebanjiran.

Minggu, 11 Februari 2006
Saya dan teman-teman pengajian, menengok kedua teman saya yang terkena musibah banjir itu. Hari ini air sudah surut. Di sana saya melewati kondisi pengungsian dan orang-orang sedang sibuk membersihkan lumpur yang masuk ke dalam rumah mereka. Yang tinggal di Tanjung Lengkong sedang hamil 7 bulan. Beliau tinggal di rumah orang tuanya,karena rumahnya sudah tidak mungkin untuk ditinggali. Pada hari itu air masih setinggi betis di rumahnya. Tidak terbayangkan gimana tebalnya Lumpur di sana jika saat ini saja masih ada genangan air di sana-saat daerah lain sudah banyak yang surut. Si mba itu sampai enggan balik ke rumahnya karena membayangkan rumah dan isinya sudah hancur lebur. Gimana enggak,di lantai 2 aja airnya sampai seleher. Plus beliau sedang hamil juga kali ya,jadi agak repot kalau harus ngebersihin lumpur yang tebalnya antara 20-50 cm,plus lumpur yang menempel di barang-barang yang ada di dalam rumah.

Mba yang satu lagi,rumahnya kelelep air setinggi pinggang orang dewasa (tapi di lantai 2). Beliau belum bisa melihat kondisi rumahnya,karena gang menuju rumahnya terhalang oleh bangunan rumah yang roboh akibat derasnya aliran air. Pada saat kami ke sana kami kesulitan untuk bertemu dengannya. Pasalnya, gang menuju rumahnya masih dipenuhi oleh lumpur. Di dalam rombongan yang terdiri dari 4 orang dewasa dan 1 balita, tidak memungkinkan bagi kami untuk masuk ke areal penuh lumpur. Kami mencoba menelfonnya,namun gagal terus. Akhirnya kami mengirimkan dua utusan untuk bertemu dengannya dan mengajaknya ke tempat kedua teman saya yang lain menunggu. Saya dan teman saya masuk ke dalam lagi untuk mencari si mba tersebut,dan alhamdulillah ketemu. Beliau sedang ada di klinik Bina Medika. Yang saya kagumi dari beliau,beliau tetap tinggal di daerah tersebut dan bersama-sama teman seperjuangan membuka klinik sederhana bernama Bina Medika. Walaupun ada peluang untuk meninggalkan daerah tersebut. Beliau sudah berkeluarga lho! Anak-anaknya-yang sudah pada besar-besar dititipin ke rumah rekan dan sanak saudaranya dan beliau tetap di daerah tersebut untuk membantu warga yang lain. Setelah bertemu dengannya,kami meminta waktunya sebentar dan mengajaknya keluar untuk berbincang-bincang dengan teman-teman lain.

Di sana saya sempat ngobrol dengan ibu-ibu yang anaknya sedang sakit. Sang anak baru berumur 11 bulan dan dia sedang menderita flu dan diare. Dua penyakit yang biasanya dialami oleh korban pasca banjir. Enggak tega deh ngeliatnya.. Oh iya,pasca banjir ini rumah sakit jadi penuh,salah satunya oleh pasien penyakit Demam Berdarah. Jadi harus waspada..

Dalam perjalanan menuju kampung pulo,kami melewati camp-camp pengungsi banjir. Kondisinya sungguh memprihatinkan,bau pesing yang menusuk hidung,baju-baju yang pating ngegelantung di sana-sini-yang bisa mengundang nyamuk datang,barang-barang berserakan,dsb. Mudah-mudahan kondisi tersebut segera berakhir. Walaupun ada sebagian dari mereka yang harus mengungsi lebih lama lagi karena kondisi rumah yang rusak parah akibat banjir.

Di daerah pemukiman elite Kelapa Gading, seorang ibu menjadi stress karena rumahnya terendam banjir yang tingginya 1 lantai. Semua barang berharga dan elektronik yang ada di dalam rumah hancur sudah.

Ada rasa syukur dan sabar yang selalu silih berganti menguasai hidup dan hati seseorang. Tanpa kedua rasa itu, manusia akan putus asa dan dunia ini menjadi tidak berarti apa-apa.

3 Hari Yang Mendebarkan..

Hari Jumat, 2 Feb’06, saya berangkat ngajar seperti biasa. Cuma memang pagi itu saya bangun agak terlambat karena terlalu letih dengan aktivitas kemarin dan jam tidur yang agak larut. Yang biasanya saya berangkat jam 05.40 dari rumah, hari itu saya berangkat jam 6 lewat, dan al-hasil memang saya terlambat sampai di sekolah dan sudah ada yang menggantikan saya mengajar. Pagi itu Jakarta diguyur hujan deras sejak dini hari, sehingga mobil juga berjalan lambat. Dalam perjalanan menuju Cijantung, saya sudah menjumpai gelagat bahwa tampaknya ini adalah waktunya bagi Jakarta untuk mengalami siklus banjir besar 5 tahunnya. Pasalnya saya melihat di jalanan daerah cililitan (kalo ga salah) sudah terendam air, kurang lebih sebetis. Harusnya hari jumat saya mengajar 6 jam pelajaran. Dengan keterlambatan saya tsb saya melewati 3 jam pelajaran. Pada saat pergantian jam ke-3 ke jam ke-4 saya mendapat sms dari mamah, “Ti, nginep di sekolah aja, soalnya jalanan ke rumah sudah pada tertutup banjir”. Sejak saat itu saya agak cemas, kemudian saya telfon orang rumah, dan ternyata air sudah masuk ke KUA yang letaknya persis di depan rumah (antara KUA dan rumah dibatasi oleh tembok setinggi 2 meter). Dan saya terima kabar dari sesama teman pengajar bahwa mas agus yang tinggal di Pondok Gede juga tidak bisa datang pagi itu karena rumahnya sudah kebanjiran. Akhirnya saya minta ijin ke Koordinator guru PM (Pendalaman Materi) di SMA tsb untuk tidak mengajar pada jam selanjutnya dan diijinkan untuk pulang. Pada saat saya pulang Cijantung mulai diguyur air hujan dan di sepanjang perjalanan banyak orang yang tidak jadi masuk kantor karena kepentok banjir atau kantornya kebanjiran. Fiuhh..alamdulillah jalanan I Gusti Ngurah Rai (antara lontar-kebon singkong) belum terendam air. Terus nyampe rumah, mulai deh evakuasi barang-barang elektronik, dll ke Lantai 2.

Air yang luber dari kali deket rumah (15-20 meter), mulai naik seiring dengan bertambahnya waktu. Walaupun dibatasi oleh tembok, air tetap bisa masuk melalui bawah tanah dan celah-celah tembok kecil (persis seperti mata air). Mulanya air memenuhi lapangan bulu tangkis yang ada di depan rumah, terus semakin merambat naik menapaki tangga sampai mencapai halaman rumah. Pada pukul 1 dini hari, listrik di daerahku padam, dan itu berarti air sudah naik cukup tinggi, sehingga gardu listriknya harus dimatikan untuk menghindari konslet. Tepatnya pukul 3 dini hari sabtu, air sudah masuk ke halaman rumah, kurang lebih 10 cm lagi air masuk ke dalam rumah. Pada waktu itu saya bertanya ke teman saya yang tinggal tak jauh dari rumah (RW sebelah), “sudah setinggi apa air di sana?”. Ternyata sudah sepinggang. Satu hal yang membuat kami cemas juga, berbeda dengan banjir tahun 2002 yang tidak dibarengi dengan curah hujan yang tinggi, pada dini hari itu, air naik dibarengi dengan hujan deras. Terkadang mulai datang lintasan pikiran yang buruk, jangan-jangan air bah datang seperti tsunami (mengingat lokasi rumah yang dekat dengan kali), namun aku tepis pikiran itu dan mulai berpikir sehat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Waktu itu kakak ipar saya sedang sakit, mulai dari hari kamis-sejak kepulangannya dari DL (Dinas Luar) di Padang, badannya lemas, kemudian suhu badannya turun-naik. Melihat kondisinya yang buruk dini hari itu, plus keadaan cuaca dan banjir yang semakin parah, akhirnya kami memutuskan untuk mengevakuasi kakak iparku itu ke rumahnya di daerah penggilingan (daerah yang cukup tinggi untuk terhindar dari banjir). Awalnya saudara kembar saya-Bayu enggan untuk membawanya keluar dari Cipinang, dengan pertimbangan takut terjebak banjir di jalan, mobilnya mogok, dan malah membuat kesehatan kak Iwan memburuk. Pasalnya air di Jl. I Gusti Ngurah Rai antara Cipinag Lontar dan Kebon Singkong sudah setinggi betis-lutut. Namun, akhirnya pada jam 4 dini hari keluarga di rumah sepakat untuk mengevakuasi beliau. Aku dan Bayu yang mendapat tugas untuk melakukan evakuasi tersebut. Dalam perjalanan menuju Penggilingan mobil memang tidak mogok karena mesin belum tenggelam oleh air, namun kita ternyata kehabisan bensin, bener-bener hampir kosong bo! Dengan kondisi jalanan terendam air, kami coba datang ke pom bensin deket rumah, ternyata pom bensinnya tutup, kata petugasnya sih, bensinnya tercampur air-tapi wallahua’lam..agak-agak imposible sih, harusnya kan tempat penyimpanan bensinnya terbuat dari beton sehingga tidak memungkinkan air untuk masuk. Sebenarnya ada satu lagi pom bensin yang deket rumah, yaitu pom bensin Cipinang Elok, tapi kita gak mungkin ke sana soalnya jalan kesana sudah tertutup air yang tinggi-setengah badan mobil. Setelah dipikir-pikir akhirnya kami memutuskan meneruskan misi evakuasi dan mencari pom bensin lain, akhirnya kami menemukannya, yaitu pom bensin di depan Mabes polisi (jaraknya kurang lebih 1-1,5 km dari rumah), dengan harapan daerah tersebut tidak terendam air. Bismillah..dengan menembus genangan air di lontar dan telah melewati pintu kereta air di lontar, ternyata alhamdulillah daerah tersebut tidak kebanjiran, dan pom bensinnya masih buka. Langsung deh sekalian diisi 100 rb. Dari situ kami mulai memikirkan rute yang tidak kena banjir, dan akhirnya kami memilih rute lewat Terminal Rawamangun-Arion depan Veldrom-Pulo Gadung-Klender-Pondok Kopi-Penggilingan, dan akhirnya kami tiba di penggilingan pk.5.30. Tenang deh udah nyampe..Alhamdulillah ya Alloh.. Kemudian kami mengabari rumah bahwa kami sudah sampai dengan selamat, kami denger kabar dari rumah bahwa air sudah masuk dapur. Waktu itu hujan sudah berhenti. Kecemasan kami berkurang satu.

(To be continued..)