Hari Jumat, 2 Feb’06, saya berangkat ngajar seperti biasa. Cuma memang pagi itu saya bangun agak terlambat karena terlalu letih dengan aktivitas kemarin dan jam tidur yang agak larut. Yang biasanya saya berangkat jam 05.40 dari rumah, hari itu saya berangkat jam 6 lewat, dan al-hasil memang saya terlambat sampai di sekolah dan sudah ada yang menggantikan saya mengajar. Pagi itu Jakarta diguyur hujan deras sejak dini hari, sehingga mobil juga berjalan lambat. Dalam perjalanan menuju Cijantung, saya sudah menjumpai gelagat bahwa tampaknya ini adalah waktunya bagi Jakarta untuk mengalami siklus banjir besar 5 tahunnya. Pasalnya saya melihat di jalanan daerah cililitan (kalo ga salah) sudah terendam air, kurang lebih sebetis. Harusnya hari jumat saya mengajar 6 jam pelajaran. Dengan keterlambatan saya tsb saya melewati 3 jam pelajaran. Pada saat pergantian jam ke-3 ke jam ke-4 saya mendapat sms dari mamah, “Ti, nginep di sekolah aja, soalnya jalanan ke rumah sudah pada tertutup banjir”. Sejak saat itu saya agak cemas, kemudian saya telfon orang rumah, dan ternyata air sudah masuk ke KUA yang letaknya persis di depan rumah (antara KUA dan rumah dibatasi oleh tembok setinggi 2 meter). Dan saya terima kabar dari sesama teman pengajar bahwa mas agus yang tinggal di Pondok Gede juga tidak bisa datang pagi itu karena rumahnya sudah kebanjiran. Akhirnya saya minta ijin ke Koordinator guru PM (Pendalaman Materi) di SMA tsb untuk tidak mengajar pada jam selanjutnya dan diijinkan untuk pulang. Pada saat saya pulang Cijantung mulai diguyur air hujan dan di sepanjang perjalanan banyak orang yang tidak jadi masuk kantor karena kepentok banjir atau kantornya kebanjiran. Fiuhh..alamdulillah jalanan I Gusti Ngurah Rai (antara lontar-kebon singkong) belum terendam air. Terus nyampe rumah, mulai deh evakuasi barang-barang elektronik, dll ke Lantai 2.
Air yang luber dari kali deket rumah (15-20 meter), mulai naik seiring dengan bertambahnya waktu. Walaupun dibatasi oleh tembok, air tetap bisa masuk melalui bawah tanah dan celah-celah tembok kecil (persis seperti mata air). Mulanya air memenuhi lapangan bulu tangkis yang ada di depan rumah, terus semakin merambat naik menapaki tangga sampai mencapai halaman rumah. Pada pukul 1 dini hari, listrik di daerahku padam, dan itu berarti air sudah naik cukup tinggi, sehingga gardu listriknya harus dimatikan untuk menghindari konslet. Tepatnya pukul 3 dini hari sabtu, air sudah masuk ke halaman rumah, kurang lebih 10 cm lagi air masuk ke dalam rumah. Pada waktu itu saya bertanya ke teman saya yang tinggal tak jauh dari rumah (RW sebelah), “sudah setinggi apa air di sana?”. Ternyata sudah sepinggang. Satu hal yang membuat kami cemas juga, berbeda dengan banjir tahun 2002 yang tidak dibarengi dengan curah hujan yang tinggi, pada dini hari itu, air naik dibarengi dengan hujan deras. Terkadang mulai datang lintasan pikiran yang buruk, jangan-jangan air bah datang seperti tsunami (mengingat lokasi rumah yang dekat dengan kali), namun aku tepis pikiran itu dan mulai berpikir sehat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Waktu itu kakak ipar saya sedang sakit, mulai dari hari kamis-sejak kepulangannya dari DL (Dinas Luar) di Padang, badannya lemas, kemudian suhu badannya turun-naik. Melihat kondisinya yang buruk dini hari itu, plus keadaan cuaca dan banjir yang semakin parah, akhirnya kami memutuskan untuk mengevakuasi kakak iparku itu ke rumahnya di daerah penggilingan (daerah yang cukup tinggi untuk terhindar dari banjir). Awalnya saudara kembar saya-Bayu enggan untuk membawanya keluar dari Cipinang, dengan pertimbangan takut terjebak banjir di jalan, mobilnya mogok, dan malah membuat kesehatan kak Iwan memburuk. Pasalnya air di Jl. I Gusti Ngurah Rai antara Cipinag Lontar dan Kebon Singkong sudah setinggi betis-lutut. Namun, akhirnya pada jam 4 dini hari keluarga di rumah sepakat untuk mengevakuasi beliau. Aku dan Bayu yang mendapat tugas untuk melakukan evakuasi tersebut. Dalam perjalanan menuju Penggilingan mobil memang tidak mogok karena mesin belum tenggelam oleh air, namun kita ternyata kehabisan bensin, bener-bener hampir kosong bo! Dengan kondisi jalanan terendam air, kami coba datang ke pom bensin deket rumah, ternyata pom bensinnya tutup, kata petugasnya sih, bensinnya tercampur air-tapi wallahua’lam..agak-agak imposible sih, harusnya kan tempat penyimpanan bensinnya terbuat dari beton sehingga tidak memungkinkan air untuk masuk. Sebenarnya ada satu lagi pom bensin yang deket rumah, yaitu pom bensin Cipinang Elok, tapi kita gak mungkin ke sana soalnya jalan kesana sudah tertutup air yang tinggi-setengah badan mobil. Setelah dipikir-pikir akhirnya kami memutuskan meneruskan misi evakuasi dan mencari pom bensin lain, akhirnya kami menemukannya, yaitu pom bensin di depan Mabes polisi (jaraknya kurang lebih 1-1,5 km dari rumah), dengan harapan daerah tersebut tidak terendam air. Bismillah..dengan menembus genangan air di lontar dan telah melewati pintu kereta air di lontar, ternyata alhamdulillah daerah tersebut tidak kebanjiran, dan pom bensinnya masih buka. Langsung deh sekalian diisi 100 rb. Dari situ kami mulai memikirkan rute yang tidak kena banjir, dan akhirnya kami memilih rute lewat Terminal Rawamangun-Arion depan Veldrom-Pulo Gadung-Klender-Pondok Kopi-Penggilingan, dan akhirnya kami tiba di penggilingan pk.5.30. Tenang deh udah nyampe..Alhamdulillah ya Alloh.. Kemudian kami mengabari rumah bahwa kami sudah sampai dengan selamat, kami denger kabar dari rumah bahwa air sudah masuk dapur. Waktu itu hujan sudah berhenti. Kecemasan kami berkurang satu.
(To be continued..)
assalamu'alaykum de...
wuaa kangennya, afwan ya ga sempat ngabarin khusus pas nikah. titi gak ikutan milis KM 3 ya?...
mmh oia...
semoga senantiasa diberi kesabaran ya..semoga airnya pun cepat surut...
sekarang keadaan rumah gimana ti...
baik-baikah?
semoga...
teriring do'a dari bandung, semoga titi dan keluarga diberikan yang terbaik...
salam sayang dari bandung
-rela-
sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik teh.. Btw he..3, iya aku belum daftar milis km3 teh.
Barokalloh teh.. ;D